Kamis, 25 Oktober 2018

MAKALAH MUSAQOH (kerjasama antara pemilik kebun dan penggarap) 4


MAKALAH

MUSAQOH
 “Makalah Ini Disusun Memenuhi Tugas Fiqh Muamalah”
Dosen Pengampu: Juhratul Khulwah, M.SI.





Disusun Oleh:
Murtiana       (162xxxxxx)




PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
2018 M /1439 H




KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai mata kuliah Fiqh Muamalah II bagi para pembaca terkhusus untuk rekan-rekan muamalah kelas H.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sebagai pemakalah sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Bandar Lampung, 20 Mei 2018


       Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah

Musaqoh ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurur perjanjian keduanya sewaktu akad.
Akad semacam ini diperbolehkan oleh agama, sebagai solusi bagi umat yang perjalanan hidupnya berbeda atau gaya hidupnya berbeda beda, fenomena semacam  ini kita lihat sepanjang kehidupan ini. Hal semacam ini terjadi karena dipengaruhi oleh sumber perekonomeannya yang berbeda. Sebagai contoh, banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedangkan yang lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya akad musaqah yang diperbolehkan agama keduanya dapat saling membantu satu sama lain sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan baik.
Dari permasalahan ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan akad musaqah, supaya tidak terjadi kesalah pahaman tentang akad ini sebab banyak terjadi kesalah pahaman antara kedua orang yang akad/pemilik dengan penggarap.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Musaqah ?
2.      Sebutkan Dasar Hukum Musaqah ?
3.      Apa saja Rukun dan Syarat Musaqah?
4.      Kapan Berakhirnya Akad Musaqah ?




BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN

Arti musyaqoh Menurut etimologi, musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya dengan muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah musyaqah. Adapun menurut  terminologi Islam, antara lain:
“suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya”.
“Penyerahan pohon kepada orang akan mengurusnya kemudian siberi sebagian dari buahnya.”[1]

Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada  pohon tamar, anggur (mengurusnya), Atau  pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.  Menurut istilah, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman al-Iaziri,  sebagai berikut.

1.      Menurut Abdurrahman al-Iaziri, al-musaqah ialah;

عقد على خدمة شجر و نحل و زرع ونحو ذلك بشرائط مخصوصة

“Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.”

2.      Menurut Malikiyah, al-musaqah  ialah: 
 “Sesuatu yang tumbuh di tanah” Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh di tanah dibagi meniadi lima macam.
Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan Waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun.
a)      Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu keras, karet, dan jati.
b)      Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik, seperti padi dan qatsha’ah.
c)      Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.
d)     Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu  manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam d1 halaman rumah dan di tempat lainnya.

3.      Menurut Syafi’iyah, yang dimaksud al-musaqah ialah:
”Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoIeh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.”

4.      Menurut Hanabilah al~musaqah mencakup dua masalah, yaitu:
a)    pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
b)   seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut  belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut  ditanam pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah  karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.[2]

Musaqah (paroan kebun) Musaqah ialah pernilik kebun yang memberikan kebunnya  pada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun  itu diantara, keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad. [3]


B.     DASAR HUKUM

1.      Al – qur’an 
Surat al  maidah ayat 2:
 أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.[4]
2.      Hadist
Asas hukum musaqah  ialah sebuah hadits yang diriwayatka Imam Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rosulullah SAW. Bersabda:

اعطى خيبر بشطر مايحرج من ثمراو زرع وفى رواية : دفع إلى اليهود خيبر وارضها على انيعملوها من اموالهم وان لرسول الله صلى الله عليه وسلم شرطها

“memberikan tanah  Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan  baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan pada Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada kaibar itu padadyahhudi, untuk diolah dan modl dan modal dari hartanya,  penghasilan separohnya umk Nabi.” [5]


C.     RUKUN DAN SYARAT
a.    Rukun musaqoh
1.    Baik pemllik kebun maupun tukang kebun (yang mengerjakan), keduanya hendaklah orang yang sama sama berhak ber tasasarruf (membelanjakan) harta keduanya.
2.    Kebun, yaitu semua pohon yang berbuah, boleh diparokan; demikian juga hasil pertahun (palawija) boleh pula diparokan.
3.    Pekerjaan Hendaklah dntentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau Iebih, sekurang kurangnya kira-klira menurut kebiasaan dalam masa itu kebun sudah mungkin berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh tukang kebun ialah semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah, seperti menyiram, rnerumput, dan mengawinkannya.
4.    Buah, Hendaklah dltentukan bagian masing masung (yang punya kebun dan tukang kebun). misalnya seperdua, sepeniga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad.[6]

b.      Rukun-rukun musaqah menurut ulama Syafi’iyah ada lima berikut ini:
1.      Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah) Disyaratkan shighat dengan lafazh dan tidak cukup dengan per buatan saja.
2.      Dua orang atau pihak yang berakad (al aqi'dani), disyaratkan, bagi orang-orang yang berakad dengan ahh (mampu) Untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada di bawah pengampuan.
3.      Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti padi, jagung, dan yang Iainnya.
4.      Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan diker jakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.
5.      Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja di kebun), seperti seperdua, sepertiga, separempat, atau ukuran yang lainnya.[7]

Syarat-syarat musaqoh
Beberapa syarat yang ada dalam mujara’ah dan dapat diterapkan dalam musyaqah adalah:
1.    Ahli dalam akad
2.    Menjelaskan bagian penggarap
3.    Membebaskan pemilik dari pohon
4.    Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5.    Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
 Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada 5 (lima)  yaitu berikut ini:
1.      Dua orang yang akad (al-aqidani).
Al-qu’dani disyaratkan harus baligh dan berakal.
2.      Objek Musyaqah.
Objek  musyaqah menurut ulama Hanafiyah  adalah pohon pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut scbagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yar tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan di siraman.
3.      Buah.
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedlia pihak.
4.      Pekerjaan Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika di syaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
5.      Shighat. Menurut ulama Syai'iyah, tidak dibolehkan menggunakan, kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad.[8]


D.    MUSAQAH YANG DIBOLEHKAN
Para ulama berbeda pendapat daIam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh di-musaqah-kan hanya kurma. Menurut Syafi’iyah, yang boleh di-musaqah-kan hanyalah kurma dan anggur saja sedangkan menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat di-musaqah-kan, seperti tebu.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Menurut Imam Malik musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut madzhab Hanbali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Dalam kitab al-Mughm', Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.[9]

E.     BERAKHIRNYA AKAD MUSAQOH
1.      Menumt Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagai mana  dalam mujara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara.
a.       Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
b.      Meninggalnya salah seorang yang akad
c.       Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur. (Rahmat opcit hlm219)

2.      Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
b.      Salah satu pihak meninggal dunia;
c.       Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

Dalam udzur disini para Ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak :
a.       Ulama Malikiyah : bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihakpetani.
b.      Ulama Syafi’iyah : bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
c.       Ulama Hanabilah : bahwa akad al-musaqah sama, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.[10]









BAB III

KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Menurut ahli fiqih Musaqah adalah akad menyerahkan pohon yang telah atau  belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yang menanam dan merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya.
Musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Muasaqah adalah salah satu bentuk penyiraman.
Rukun musaqah antara lain : ShigatDua orang yang akad (al-aqidain), Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah), Masa kerja dan Buah.
Syarat-syarat musaqah antara lain : Ahli dalam akadMenjelaskan bagian penggarapMembebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari hasil panen merupakan hasil bersamaHasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad dan Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.







DAFTAR PUSTAKA



Refrensi Buku:
Syafe’I, Rachmad. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka setia.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh muamalat.  Jakarta : Rajawali Pers.
Rasid, H. sulaiman. 2014. Fiqh Islam.  Bandung: Sinar Baru Algensindo.


Refrensi Internet:
Widiantoro, “ makalah musaqoh”  https://widhyanthoro123.blogspot.co.id/2017/05/makalah-musaqah.html . di akses pada jam 15.00 WIB 11  april 2018



[1] H. Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka setia, 2001), Hlm. 218
[2] Hendi Suhendi, Fiqh muamalat  (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), cet. 6, hlm 145 - 147
[3] H. sulaiman Rasid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo,  2014),  Cet. 65, Hlm: 300
[4] Al-Qur’anul Karem
[5]  Hendi Suhendi, op. cit ., Hlm. 148
[6]  Sulaiman Rasid, op.cit., Hlm. 301
[7] Hendi Suhendi, Log. Cit.
[8] H. Rachmad Syafe’I, Op.Cit.,  Hlm ---
[9] Hendi Suhendi, op. cit ., Hlm. 149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Pengertian Filsafat

MAKALAH PENGERTIAN FILSAFAT Makalah in dibuat untuk melengkapi tugas pada mata kuliah Filsafat Umum Dosen Penggampu ; Erik Rahman Gumiri, M....