MAKALAH
MUSAQOH
“Makalah Ini Disusun Memenuhi Tugas Fiqh Muamalah”
Dosen
Pengampu: Juhratul Khulwah,
M.SI.
Disusun
Oleh:
Murtiana
(162xxxxxx)
PROGRAM
STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
2018
M /1439 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan
harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai mata kuliah
Fiqh Muamalah II bagi para pembaca terkhusus untuk rekan-rekan muamalah kelas H.
Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini,
Oleh karena itu saya sebagai pemakalah sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bandar Lampung, 20 Mei 2018
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Musaqoh ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya
kepada tukang kebun agar dipeliharanya dan penghasilan yang didapat dari kebun
itu dibagi antara keduanya, menurur perjanjian keduanya sewaktu akad.
Akad semacam ini diperbolehkan oleh agama,
sebagai solusi bagi umat yang perjalanan hidupnya berbeda atau gaya hidupnya
berbeda beda, fenomena semacam ini kita lihat sepanjang kehidupan ini.
Hal semacam ini terjadi karena dipengaruhi oleh sumber perekonomeannya yang
berbeda. Sebagai contoh, banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat
memeliharanya, sedangkan yang lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja.
Maka dengan adanya akad musaqah yang diperbolehkan agama keduanya dapat saling
membantu satu sama lain sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan baik.
Dari permasalahan ini, penulis bermaksud
dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan akad
musaqah, supaya tidak terjadi kesalah pahaman tentang akad ini sebab banyak
terjadi kesalah pahaman antara kedua orang yang akad/pemilik dengan penggarap.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Musaqah ?
2.
Sebutkan Dasar Hukum Musaqah ?
3.
Apa saja Rukun dan Syarat Musaqah?
4.
Kapan Berakhirnya Akad Musaqah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Arti
musyaqoh Menurut etimologi, musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang
Madinah menyebutnya dengan muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal
adalah musyaqah. Adapun menurut terminologi Islam, antara lain:
“suatu akad dengan memberikan pohon
kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya”.
“Penyerahan pohon kepada orang akan
mengurusnya kemudian siberi sebagian dari buahnya.”[1]
Musaqah
diambil dari kata al-saqa, yaitu
seseorang bekerja pada pohon tamar,
anggur (mengurusnya), Atau pohon-pohon
yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu
dari hasil yang diurus sebagai imbalan. Menurut
istilah, al-musaqah didefinisikan
oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman al-Iaziri, sebagai berikut.
1. Menurut Abdurrahman al-Iaziri,
al-musaqah ialah;
عقد على خدمة شجر و نحل و زرع ونحو
ذلك بشرائط مخصوصة
“Akad untuk pemeliharaan pohon
kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.”
2. Menurut Malikiyah, al-musaqah ialah:
“Sesuatu yang tumbuh di tanah” Menurut
Malikiyah, sesuatu yang tumbuh di tanah dibagi meniadi lima macam.
Pohon-pohon tersebut berakar kuat
(tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan
Waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun.
a) Pohon-pohon tersebut berakar tetap,
tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu keras, karet, dan jati.
b) Pohon-pohon tersebut tidak berakar
kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik, seperti padi dan qatsha’ah.
c) Pohon-pohon tersebut tidak berakar
kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang
bermanfaat, seperti bunga mawar.
d) Pohon-pohon yang diambil hijau dan
basahnya sebagai suatu manfaat, bukan
buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam d1 halaman rumah dan di tempat
lainnya.
3. Menurut Syafi’iyah, yang dimaksud
al-musaqah ialah:
”Memberikan
pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk
kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan pekerja
memperoIeh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.”
4. Menurut Hanabilah al~musaqah
mencakup dua masalah, yaitu:
a) pemilik menyerahkan tanah yang sudah
ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya
yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti
sepertiganya atau setengahnya.
b) seseorang menyerahkan tanah dan
pohon, pohon tersebut belum ditanamkan,
maksudnya supaya pohon tersebut ditanam
pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon
yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan
pohon-pohon untuk ditanamkannya.[2]
Musaqah
(paroan kebun) Musaqah ialah pernilik kebun yang memberikan kebunnya pada tukang kebun agar dipeliharanya, dan
penghasilan yang didapat dari kebun itu
diantara, keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad. [3]
B. DASAR HUKUM
1. Al
– qur’an
Surat al
maidah ayat 2:
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا
شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ
وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ
وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”.[4]
2. Hadist
Asas hukum musaqah ialah sebuah hadits yang diriwayatka Imam
Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rosulullah SAW. Bersabda:
اعطى خيبر بشطر
مايحرج من ثمراو زرع وفى رواية : دفع إلى اليهود خيبر وارضها على انيعملوها من
اموالهم وان لرسول الله صلى الله عليه وسلم شرطها
“memberikan tanah Khaibar dengan bagian separoh dari
penghasilan baik buah-buahan maupun
pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan pada Rasul menyerahkan tanah
Khaibar itu kepada kaibar itu padadyahhudi, untuk diolah dan modl dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya umk
Nabi.” [5]
C. RUKUN DAN SYARAT
a. Rukun musaqoh
1. Baik pemllik kebun maupun tukang
kebun (yang mengerjakan), keduanya hendaklah orang yang sama sama berhak ber tasasarruf (membelanjakan) harta
keduanya.
2. Kebun, yaitu semua pohon yang
berbuah, boleh diparokan; demikian juga hasil pertahun (palawija) boleh pula diparokan.
3. Pekerjaan Hendaklah dntentukan
masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau Iebih, sekurang kurangnya kira-klira
menurut kebiasaan dalam masa itu kebun sudah mungkin berbuah. Pekerjaan yang
wajib dikerjakan oleh tukang kebun ialah semua pekerjaan yang bersangkutan
dengan penjagaan kerusakan dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah,
seperti menyiram, rnerumput, dan mengawinkannya.
4. Buah, Hendaklah dltentukan bagian
masing masung (yang punya kebun dan tukang kebun). misalnya seperdua, sepeniga,
atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad.[6]
b. Rukun-rukun musaqah menurut ulama
Syafi’iyah ada lima berikut ini:
1. Shigat, yang dilakukan kadang-kadang
dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah) Disyaratkan shighat dengan
lafazh dan tidak cukup dengan per buatan saja.
2. Dua orang atau pihak yang berakad
(al aqi'dani), disyaratkan, bagi orang-orang yang berakad dengan ahh (mampu) Untuk
mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada di bawah pengampuan.
3. Kebun dan semua pohon yang berbuah,
semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil), baik yang berbuah
tahunan (satu kali dalam setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian
mati, seperti padi, jagung, dan yang Iainnya.
4. Masa kerja, hendaklah ditentukan
lama waktu yang akan diker jakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya
menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah
berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh
tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan
menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.
5. Buah, hendaklah ditentukan bagian
masing-masing (yang punya kebun dan bekerja di kebun), seperti seperdua,
sepertiga, separempat, atau ukuran yang lainnya.[7]
Syarat-syarat musaqoh
Beberapa syarat yang ada dalam
mujara’ah dan dapat diterapkan dalam musyaqah adalah:
1. Ahli
dalam akad
2. Menjelaskan
bagian penggarap
3. Membebaskan
pemilik dari pohon
4. Hasil
dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5. Sampai
batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah
ada 5 (lima) yaitu berikut ini:
1. Dua orang yang akad (al-aqidani).
Al-qu’dani disyaratkan harus baligh
dan berakal.
2. Objek Musyaqah.
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon pohon yang berbuah, seperti
kurma. Akan tetapi, menurut scbagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah
atas pohon yar tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan di siraman.
3. Buah.
Disyaratkan menentukan buah ketika
akad untuk kedlia pihak.
4. Pekerjaan Disyaratkan penggarap
harus bekerja sendiri. Jika di syaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau
dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
5. Shighat. Menurut ulama Syai'iyah, tidak
dibolehkan menggunakan, kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab
berlainan akad.[8]
D. MUSAQAH YANG DIBOLEHKAN
Para
ulama berbeda pendapat daIam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah. Imam Abu
Dawud berpendapat bahwa yang boleh di-musaqah-kan hanya kurma. Menurut
Syafi’iyah, yang boleh di-musaqah-kan hanyalah kurma dan anggur saja sedangkan
menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat
di-musaqah-kan, seperti tebu.
Apabila
waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku
jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk
pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Menurut
Imam Malik musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat,
seperti delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan
dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka
dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut
madzhab Hanbali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat
dimakan. Dalam kitab al-Mughm', Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk
pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.[9]
E. BERAKHIRNYA AKAD MUSAQOH
1. Menumt
Ulama Hanafiyah
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagai mana dalam mujara’ah dianggap selesai dengan adanya
tiga perkara.
a. Habis
waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
b. Meninggalnya
salah seorang yang akad
c. Membatalkan,
baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur. (Rahmat opcit hlm219)
2. Menurut
para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila:
a. Tenggang
waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
b. Salah
satu pihak meninggal dunia;
c. Ada
udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur disini para Ulama berbeda pendapat
tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak :
a. Ulama
Malikiyah : bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah
satunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari
pihakpetani.
b. Ulama
Syafi’iyah : bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur,
dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap
itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
c.
Ulama Hanabilah : bahwa
akad al-musaqah sama, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak.
Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan
itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan
penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.[10]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Menurut
ahli fiqih Musaqah adalah akad menyerahkan pohon yang telah atau belum
ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yang menanam dan merawatnya di
tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja
mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan
sisanya adalah untuk pemiliknya.
Musaqah
adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya
adalah buah dari pohon yang diurusnya. Muasaqah adalah salah satu bentuk
penyiraman.
Rukun
musaqah antara lain : Shigat, Dua orang yang akad
(al-aqidain), Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang
berbuah), Masa kerja dan Buah.
Syarat-syarat
musaqah antara lain : Ahli dalam akad, Menjelaskan bagian
penggarap, Membebaskan
pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari hasil panen
merupakan hasil bersama, Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang
melangsungkan akad dan Sampai batas akhir, yakni menyeluruh
sampai akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Refrensi
Buku:
Syafe’I, Rachmad. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka setia.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh muamalat. Jakarta :
Rajawali Pers.
Rasid, H. sulaiman.
2014. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Refrensi Internet:
Widiantoro, “ makalah
musaqoh” https://widhyanthoro123.blogspot.co.id/2017/05/makalah-musaqah.html
. di akses pada jam 15.00 WIB 11 april
2018
[1] H. Rachmad Syafe’I,
Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka
setia, 2001), Hlm. 218
[2] Hendi Suhendi, Fiqh muamalat (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), cet. 6, hlm
145 - 147
[3] H. sulaiman
Rasid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2014), Cet. 65, Hlm: 300
[4] Al-Qur’anul
Karem
[5] Hendi Suhendi, op. cit ., Hlm. 148
[6] Sulaiman Rasid, op.cit., Hlm. 301
[7] Hendi Suhendi, Log. Cit.
[8] H. Rachmad Syafe’I,
Op.Cit.,
Hlm ---
[9] Hendi Suhendi, op. cit ., Hlm. 149
[10] Widiantoro, “
makalah musaqoh” https://widhyanthoro123.blogspot.co.id/2017/05/makalah-musaqah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar