Kamis, 25 Oktober 2018

Hukum Acara Peradilan Agama (5)


Pengertian Dan Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama

A. PENGERTIAN
   Istilah peradilan agama secara Etimologis berasal dari kata Adil mendapatkan awalan per dan akhiran an, yang berarti sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah urusan tentang adil. Peradilan, dalam Bahasa belandanya, dikenal dengan istilah Rechtspraak tersebut dalam Bahasa Arabnya dikenal dengan istilah Al-Qodlo karena oeradilan agama adalah peradilan yang menyangkut segala perkara yang pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hokum agama islam. Al-Qodlo dalam konteks Al-Quran mempunyai berbagai macam arti bias berarti mengakhiri atau menyelesaikan, menunaikan dan bisa juga berarti memerintahkan. Berbagai macam arti tersebut dijumpai didalam berbagai ayat didalam Al-Quran salah satunya dalam surat Al-Ahzab ayat 37.
     Secara Terminologis berbagai kalangan ahli hukum bermacam ragamnya mengartikan dengan suatu urusan atau tugas untuk menyelesaikan persengketaan guna menghentikan gugat menggugat dan guna memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara yang diambil dari Al-Quran dan sunah atau hadist. Menurut Subekti salah seorang ahli hukum di Indinesia mengartikannya sebagai “ segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tugas negara dalam menegakan hukum dan peradilan”.
          Hukum acara peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materil dengan perantara hakim atau cara bagaimana bertindak dimuka peradilan agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
         Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagimorang yang beragama Islam sebagai mana yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU no 7 Tahun 1989. Kemudian UU tersebut diperbaharui dengan UU No 3 Tahun 2006, hal ini karena berkaitan dengan uang lingkup kekuasaan dan wewenang peradilan Agama bertambah dalam Pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:

a.       Perkawinan
b.  Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum islam
c.       Wakaf dan sodakoh

B. DASAR HUKUM
a. dapun sumber hokum utama Acara Peradilan Agama adalah:
1.      HIR/RBg (hokum acara perdata yang berlaku bagi peradilan Umum)
2.      UU No 7 Tahun 1989 (yang telah diubah dengan UU No 3 Tahun 2006)
3.      UU No 14 Tahun 1970 (telah diganti dengan UU No 4 Tahun 2004)
4.      UU no 14 Tahun 1985 (telah diganti dengan UU No 5 Tahun 2004)
5.      UU No 1 Tahun 1974 Jo.PP.No 9 Tahun 1975
6.      UU No 20 Tahun 1947
7.      Inpres No 1 Tahun 1991 (didalam KHI)
8.      Peraturan MA.RI
9.      Surat edaran MA.RI
10.  Peraturan Mentri Agama
11.  Keputusan Mentri Agama
12.  Doktrin / Ilmu Pengetahuan Hukum/ Kitab-Kitab Fiqih

b. Sumber Utama Hukum Materil
            peradilan Agama ialah:
1.      Hukum islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits
2.      UU No 1 Tahun 1974
3.      UU No 7 Tahun 1989
4.      PP No 9 Tahun 1975
5.      PP No 28 Tahun 1977
6.      Inpres No 1 Tahun 1991 tentang KHI
7.      Peraturan Mentri Agama No 2 Tahun 1987
8.      Yurisprudensi
9.      Doktrin
10.  Hokum Positif Yang Berkaitan Dengan Tugas  dan Kewenangan Peradilan Agama

C. ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PRADILAN AGAMA
ASAS UMUM LEMBAGA PERDILAN AGAM

1. Asas bebas merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan pradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hokum republic Indonesia.
Pada dasarnya asas kebebasan hakim dan pradilanyang digariskan dalam UU No 3 th 2006 tentang perubahan atas UU no 7 th 1989 tentang pradilan agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 UU N0 4 th 2004 tentenag kekuasaan kehakiman.
Dalam penjelasan pasal 1 UU no 4 th 2004 ini menyebutkan “kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yuridisialkecuali dalam hal yang diizinkan UU’’.

2. Asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Penyelenggara kekuasaan k ehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan pradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan pradilan umum, lingkungan pradilan agama, lindungan pradilan militer, lingkungan pradilan tata usaha, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Semua pradilan diseluruh wilayah negara republic indonesia adalah pradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan pradilan negara menerapkan hokum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

3. Asas ketuhanan
pradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum agama islam, sehingga pembuatan putusan atau penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmallahyang diikuti dengan irah-irah “demio keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”

4. Asas fleksibelitas
Pemeriksaan perkara dilingkungan pradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan  biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU No 7 th 1989 yang tidak di ubah dalam undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang pradilan agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU no 4 tahun 204 tentang kekuasaan kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
 Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persoalan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan  yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majlis hakim, maka tidak adacara lain kecuaali majlis hakim harus secepatnya mengambil keputusan untuk di bacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transfaran, serta menghilamhkan biaya-biaya lain diluar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.

5. asas non ekstra Yudisial
Segala campur tanggan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI tahun 1945. Sehingga setiap orang denfan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.

6. asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum denga tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasal 6 (1) UU nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman jo. Pasal 2 UU nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama
Pada asas nya pengadilan agama mengadili menurut hokum agama islam denga tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkanaan denfa persamaan hak dan derajat setiap orang dimuka persidangan perdailan agama tidak terabikan.
Asas Legalitasat dimaknai sebagai hak perlindumngan hokum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewanangan peradilan harus berdasar atas hukum, mulai dari tindakan pemnaggilan, penyitan, pemeriksaaan dipersidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasarkan atas hukum. Tidak boleh menurut atau atasa dasar selera hakim, tetapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum
ASAS KHUSUS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
1. ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN
Yang tunduk dan dapat ditundukan kepada kekusaan perdilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas ini diatur dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama pasal 2 penjelasan umum alinea ke 3 dan pasal 49 terbatas pada perkara perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Ketentuan yang melekat tentang asas personalitas keislaman pada UU NO. 3 tahun 2006 adalah :
a. para pihak yang besengketa harus beragama islam.
b. perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c. hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum islam, oleh karna itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya peradilan agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan pernikahan secara islam, apabila terjadi sengketa perkawinan tetap menjadi kewenangan absolut peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragama islam
2. ASAS ISHLAH (UPAYA PERDAMAIAN)
Upaya perdamaian  diatur dalam pasal 39 UU No. 1 tahun1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 tahun 1975 Tentang pelaksanaan UU No.1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No.7 tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama jo. Pasal 115 KHI jo. Pasal 16 (2) UU No. 4 tahun2004 tentang kekuasaan dan kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan. Karna itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankan fungsi mendamaikan, sebab sebagaimanapun adilnya suatu putusan pasti lebih cantic dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3. ASAS TERBUKA UNTUK UMUM
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU no. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama jo, pasal 19 ( 3 dan 4 ) UU no, 4 tahun 2004. Siding pemeriksaan perkara dipengadilanagama adalah terbuka untuk umum,kecuali UU menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagaimana dlakukan siding tertutup. Adapun yang harus dilakukan dengan sdiang tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dana tau cerai gugat ( pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU no. 3 Tahun 2006 tentamg peradilan agama.
4. ASAS EQUALITY
Setiap orang yang berperkara dimuka siding adalah sama hak dankedudukannya, sehingga tidak ada perbdaan yang bersifat “ dikskriminatif  baik dalam diksriminasi Normatif maupun dikriminasi kategoris “ adapun pantokan yang fundamental dalamupaya penerapanasasa equality pada setiap penyelesaian perkara persidangan :
a. persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan atau “ equal Before the Law “.
b.hak perlindungan yang sama oleh hukum atau  “ Equal proteksion on the law ’’
c.  mendapat hak perlakuan yang sama dibwah hukum atau “ equal justice under the Law’’
5. asas “ aktif “ memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderuung mengarah ada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBG sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingukngan dan peradilan Umum dan Perdailan agma sebagaimana yang tertuang pada pasal 54 UU no, 3 Tahun 2006 tentang Perdilan agama.

6. Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat oertama daoat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali UU menentukan Lain.
7. Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhdap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada MA oleh para pihka yang bersangkutan, kecuali UU menentukan Lain.
8. Asas Upaya HUkum penijauan Kembali.
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada MA apabila terdapat hal atau ekadaan tertentu yang ditentukan UU. Dan terjadap putusan penijuan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9. Asas pertimbangan HUkum ( Racio DEcidendi )
Segala putusanpengadilan selain harus memeuat alasan da dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundnag-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadiukan dasar untuk mengadili.
D. TUJUAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
1.      Tujuan Hukum Acara Peradilan Agama
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-perkara:
a)  Perkawinan;
b)  Waris;
c)  Wasiat;
d)  Hibah;
e)  Wakaf;
f)  Zakat;
g)  Infaq;
h)  Shadaqah; dan
i)   Ekonomi Syari'ah.[3]
Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam penjelasan UNDANG-UNDANG nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
E. FUNGSI HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Hukum Acara Peradilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut:
a).  Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing ; (vide: Pasal 49 Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006);
b).  Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide: Pasal 53 ayat (1) Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006), serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide: Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman);
c).  Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yudisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum. (vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
d). Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
e). Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta llain sebagainya, seperti diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor: KMA/004/SK/II/1991;




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Pengertian Filsafat

MAKALAH PENGERTIAN FILSAFAT Makalah in dibuat untuk melengkapi tugas pada mata kuliah Filsafat Umum Dosen Penggampu ; Erik Rahman Gumiri, M....