Pengertian Dan Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama
A. PENGERTIAN
Istilah
peradilan agama secara Etimologis
berasal dari kata Adil mendapatkan awalan per dan akhiran an, yang berarti
sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah urusan tentang adil. Peradilan,
dalam Bahasa belandanya, dikenal dengan istilah Rechtspraak tersebut dalam
Bahasa Arabnya dikenal dengan istilah Al-Qodlo karena oeradilan agama adalah
peradilan yang menyangkut segala perkara yang pelaksanaannya dilakukan menurut
ketentuan-ketentuan hokum agama islam. Al-Qodlo dalam konteks Al-Quran
mempunyai berbagai macam arti bias berarti mengakhiri atau menyelesaikan,
menunaikan dan bisa juga berarti memerintahkan. Berbagai macam arti tersebut
dijumpai didalam berbagai ayat didalam Al-Quran salah satunya dalam surat
Al-Ahzab ayat 37.
Secara
Terminologis berbagai kalangan
ahli hukum bermacam ragamnya mengartikan dengan suatu urusan atau tugas untuk
menyelesaikan persengketaan guna menghentikan gugat menggugat dan guna memotong
pertengkaran dengan hukum-hukum syara yang diambil dari Al-Quran dan sunah atau
hadist. Menurut Subekti salah seorang ahli hukum di Indinesia mengartikannya
sebagai “ segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tugas negara dalam
menegakan hukum dan peradilan”.
Hukum
acara peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara
mentaatinya hukum perdata materil dengan perantara hakim atau cara bagaimana
bertindak dimuka peradilan agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum
itu berjalan sebagaimana mestinya.
Peradilan
Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagimorang
yang beragama Islam sebagai mana yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU no 7 Tahun
1989. Kemudian UU tersebut diperbaharui dengan UU No 3 Tahun 2006, hal ini
karena berkaitan dengan uang lingkup kekuasaan dan wewenang peradilan Agama
bertambah dalam Pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa peradilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
a.
Perkawinan
b. Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum islam
c.
Wakaf
dan sodakoh
B.
DASAR HUKUM
a.
dapun sumber hokum utama Acara Peradilan Agama adalah:
1.
HIR/RBg
(hokum acara perdata yang berlaku bagi peradilan Umum)
2.
UU
No 7 Tahun 1989 (yang telah diubah dengan UU No 3 Tahun 2006)
3.
UU
No 14 Tahun 1970 (telah diganti dengan UU No 4 Tahun 2004)
4.
UU
no 14 Tahun 1985 (telah diganti dengan UU No 5 Tahun 2004)
5.
UU
No 1 Tahun 1974 Jo.PP.No 9 Tahun 1975
6.
UU
No 20 Tahun 1947
7.
Inpres
No 1 Tahun 1991 (didalam KHI)
8.
Peraturan
MA.RI
9.
Surat
edaran MA.RI
10. Peraturan Mentri Agama
11. Keputusan Mentri Agama
12. Doktrin / Ilmu Pengetahuan Hukum/ Kitab-Kitab Fiqih
b.
Sumber Utama Hukum Materil
peradilan Agama ialah:
1.
Hukum
islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits
2.
UU
No 1 Tahun 1974
3.
UU
No 7 Tahun 1989
4.
PP
No 9 Tahun 1975
5.
PP
No 28 Tahun 1977
6.
Inpres
No 1 Tahun 1991 tentang KHI
7.
Peraturan
Mentri Agama No 2 Tahun 1987
8.
Yurisprudensi
9.
Doktrin
10. Hokum Positif Yang Berkaitan Dengan Tugas dan Kewenangan Peradilan Agama
C. ASAS-ASAS
DALAM HUKUM ACARA PRADILAN AGAMA
ASAS UMUM
LEMBAGA PERDILAN AGAM
1. Asas bebas
merdeka
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan pradilan
guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara hokum republic Indonesia.
Pada dasarnya
asas kebebasan hakim dan pradilanyang digariskan dalam UU No 3 th 2006 tentang
perubahan atas UU no 7 th 1989 tentang pradilan agama adalah merujuk pada pasal
24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 UU N0 4 th 2004 tentenag kekuasaan kehakiman.
Dalam penjelasan
pasal 1 UU no 4 th 2004 ini menyebutkan “kekuasaan kehakiman yang merdeka ini
mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur
tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva
atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yuridisialkecuali dalam hal yang
diizinkan UU’’.
2. Asas sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman.
Penyelenggara
kekuasaan k ehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan pradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan pradilan umum, lingkungan pradilan
agama, lindungan pradilan militer, lingkungan pradilan tata usaha, dan oleh
sebuah mahkamah konstitusi.
Semua pradilan
diseluruh wilayah negara republic indonesia adalah pradilan negara dan
ditetapkan dengan undang-undang. Dan pradilan negara menerapkan hokum dan
keadilan berdasarkan Pancasila.
3. Asas
ketuhanan
pradilan agama
dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum agama islam,
sehingga pembuatan putusan atau penetapan harus dimulai dengan kalimat
Basmallahyang diikuti dengan irah-irah “demio keadilan berdasarkan ketuhanan
yang maha esa”
4. Asas
fleksibelitas
Pemeriksaan
perkara dilingkungan pradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur
dalam pasal 57 (3) UU No 7 th 1989 yang tidak di ubah dalam undang-undang nomor
3 tahun 2006 tentang pradilan agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU no 4
tahun 204 tentang kekuasaan kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib
membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala
hambatan yang dihadapi pihak tersebut.
Yang dimaksud
sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit
serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam
persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang
berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan
pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan
mengidentifikasikan persoalan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok
persoalan yang selanjutnya digali lebih
dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah
diketahui majlis hakim, maka tidak adacara lain kecuaali majlis hakim harus
secepatnya mengambil keputusan untuk di bacakan dimuka persidangan yang terbuka
untuk umum
Biaya ringan
yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transfaran,
serta menghilamhkan biaya-biaya lain diluar kepentingan para pihak dalam
berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan
bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
5. asas non
ekstra Yudisial
Segala campur
tanggan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman
dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI tahun 1945.
Sehingga setiap orang denfan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
akan dipidana.
6. asas
Legalitas
Peradilan agama
mengadili menurut hokum denga tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur
pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasal 6 (1) UU nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman jo. Pasal 2 UU nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama
Pada asas nya
pengadilan agama mengadili menurut hokum agama islam denga tidak membeda-bedakan
orang, sehingga hak asasi yang berkanaan denfa persamaan hak dan derajat setiap
orang dimuka persidangan perdailan agama tidak terabikan.
Asas Legalitasat
dimaknai sebagai hak perlindumngan hokum dan sekaligus sebagai hak persamaan
hukum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi
dan kewanangan peradilan harus berdasar atas hukum, mulai dari tindakan
pemnaggilan, penyitan, pemeriksaaan dipersidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasarkan atas hukum. Tidak boleh menurut
atau atasa dasar selera hakim, tetapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum
ASAS
KHUSUS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
1. ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN
Yang tunduk dan dapat ditundukan kepada kekusaan
perdilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas ini
diatur dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989
tentang peradilan agama pasal 2 penjelasan umum alinea ke 3 dan pasal 49
terbatas pada perkara perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat tentang asas personalitas keislaman pada UU NO. 3 tahun
2006 adalah :
a. para pihak yang besengketa harus beragama islam.
b. perkara perdata yang disengketakan mengenai
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi
syari’ah.
c. hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum
islam, oleh karna itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan
sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya peradilan agama adalah hukum yang
berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang
melangsungkan pernikahan secara islam, apabila terjadi sengketa perkawinan
tetap menjadi kewenangan absolut peradilan agama, walaupun salah satu pihak
tidak beragama islam
2. ASAS ISHLAH (UPAYA PERDAMAIAN)
Upaya perdamaian
diatur dalam pasal 39 UU No. 1 tahun1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31
PP No. 9 tahun 1975 Tentang pelaksanaan UU No.1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65
dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No.7 tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3
tahun 2006 tentang peradilan agama jo. Pasal 115 KHI jo. Pasal 16 (2) UU No. 4
tahun2004 tentang kekuasaan dan kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan
setiap perselisihan dengan melalui pendekatan. Karna itu, tepat bagi para hakim
peradilan agama untuk menjalankan fungsi mendamaikan, sebab sebagaimanapun
adilnya suatu putusan pasti lebih cantic dan lebih adil hasil putusan itu
berupa perdamaian.
3. ASAS TERBUKA UNTUK UMUM
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) No.
7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU no. 3 Tahun 2006 tentang peradilan
agama jo, pasal 19 ( 3 dan 4 ) UU no, 4 tahun 2004. Siding pemeriksaan perkara
dipengadilanagama adalah terbuka untuk umum,kecuali UU menentukan lain atau jika
hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding
memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagaimana dlakukan
siding tertutup. Adapun yang harus dilakukan dengan sdiang tertutup adalah
berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dana tau cerai gugat (
pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU no. 3 Tahun 2006
tentamg peradilan agama.
4. ASAS EQUALITY
Setiap orang
yang berperkara dimuka siding adalah sama hak dankedudukannya, sehingga tidak
ada perbdaan yang bersifat “ dikskriminatif
baik dalam diksriminasi Normatif maupun dikriminasi kategoris “ adapun
pantokan yang fundamental dalamupaya penerapanasasa equality pada setiap
penyelesaian perkara persidangan :
a. persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan
persidangan atau “ equal Before the Law “.
b.hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “ Equal proteksion on the law ’’
c. mendapat hak
perlakuan yang sama dibwah hukum atau “ equal justice under the Law’’
5. asas “ aktif “ memberi bantuan
Terlepas dari
perkembangan praktik yang cenderuung mengarah ada proses pemeriksaan dengan
surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBG sebagai
hukum acara yang berlaku untuk lingukngan dan peradilan Umum dan Perdailan agma
sebagaimana yang tertuang pada pasal 54 UU no, 3 Tahun 2006 tentang Perdilan
agama.
6. Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan
pengadilan tingkat oertama daoat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali UU menentukan Lain.
7. Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhdap putusan
pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada MA oleh para
pihka yang bersangkutan, kecuali UU menentukan Lain.
8. Asas Upaya HUkum penijauan Kembali.
Terhadap putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada MA apabila terdapat hal atau ekadaan
tertentu yang ditentukan UU. Dan terjadap putusan penijuan kembali tidak dapat
dilakukan peninjauan kembali.
9. Asas pertimbangan HUkum ( Racio DEcidendi )
Segala
putusanpengadilan selain harus memeuat alasan da dasar putusan tersebut, memuat
pula pasal tertentu dan peraturan perundnag-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadiukan dasar untuk mengadili.
D.
TUJUAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
1.
Tujuan
Hukum Acara Peradilan Agama
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut
perkara-perkara:
a) Perkawinan;
b) Waris;
c) Wasiat;
d) Hibah;
e) Wakaf;
f) Zakat;
g) Infaq;
h) Shadaqah;
dan
i) Ekonomi
Syari'ah.[3]
Selain
kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan
bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini
berbunyi: “Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk
memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau
menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan
Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara
nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan
Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan
arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam penjelasan
UNDANG-UNDANG nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk
Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
E.
FUNGSI HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Hukum Acara
Peradilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut:
a). Fungsi
Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing ; (vide:
Pasal 49 Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang Nomor 3 Tahun
2006);
b). Fungsi
Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide: Pasal 53 ayat (1)
Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006),
serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide: Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman);
c). Fungsi
Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada
jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yudisial, administrasi peradilan
maupun administrasi umum. (vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
d). Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan
administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi,
perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan
lainnya. Dan memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di
lingkungan Pengadilan Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang
Umum) ;
e). Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan,
pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di
wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan
hukum, riset dan penelitian serta llain sebagainya, seperti diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor: KMA/004/SK/II/1991;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar