MAKALAH
MUZARA’AH
Disusun Guna Untuk Memenuhi
Tugas Makalah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A
Disusun Oleh:
Murtiana - xxxxxxx
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
2018 M/1439 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan
harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai mata kuliah
FILSAFAT HUKUM ISLAM bagi para pembaca..
Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman saya, Saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu Saya sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bandar Lampung, 08
November 2018
Murtiana
DAFTAR ISI
JUDUL............................................................................................... I
KATA PENGANTAR........................................................................................... II
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muzaro’ah.................................................................................. 2
B.
Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Muzara’ah.............................................. 3
C.
Dasar
Hukum Muzara’ah............................................................................. 4
D.
Filosofi/Hikmah Muzara’ah.......................................................................... 5
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN........................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pedesaan
banyak sekali persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan begitu saja.
Yang mana butuh penguatan hukum untuk dijadikan sebagai pedoman. Salah
satunya adalah masalah perkebunan dan persawahan, yang kita
kenal dengan parohan sawah atau ladang. Sistem paroan sawah ini biasa kita
sebut dalam istilah fiqh yaitu musaqoh, muzara’ah, dan mukhobarah. Namun hal ini saya akan membahas tentang muzaroah saja.
Hal ini muncul karena beberapa sebab, diantaranya
yaitu banyaknya masyarakat yang memiliki kebun tapi tidak bisa mengolah,
begitupun sebaliknya ada yang tidak punya sawah tapi ia sanggup mengolah
ladang. Dari hal ini akhirnya keduanya muncul kerjasama yang mana pemilik lahan
memberikan lahannya kepada tukang kebun untuk mengolah, lalu hasilnya dibagi
dua sesuai dengan akad yang telah disepakati.
Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud memaparkan tentang muzaroah dalam makalah ini untuk
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, untuk menambah
wawasan kita dalam menyikapi terjadinya kesalahpahaman dan persoalan-persoalan
lain yang berkenaan dengan hal tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian muzaroah ?
2.Apa
saja Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat
Muzara’ah ?
3.Bagaimana
Dasar Hukum Muzara’ah ?
4. Apa
Filosofi/Hikmah Muzara’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muzara’ah
Secara etimologi Al Muzara’ah memiliki 2 arti, yang
pertama Al Muzara’ah yang berarti tharh al zur’ah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal (al hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan
makna yang kedua ialah makna hakiki.
Sedangkan secara terminologi, Muzara’ah memiliki
beberapa definisi. Ada beberapa ulama’ yang mengemukakan pendapatnya tentang
pengertian Muzara’ah, diantaranya:
a.
Menurut
Hanafiyah
Muzara’ah ialah:
عَقْدٌ عَلَى الزَّرْعِ بِبَعْضِ الْ خَارِجِ مِنَ
الآَرْضِ
“ Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar
dari bumi.”
b.
Menurut
Hanabilah
Muzara’ah ialah:
عَنْ يَدْفَعَ صَاحِبُ الأَرْضِ
الصَّا لِحَةِ الْمُزَارَعَةِ أرْضَهُ لِلْعَامِلِ الَّذِىْ يَقَوْمُ يِزَرْعِهَا
وض بَدْفَعُ لَهُ الْحُبَّ
“Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk
ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”
c.
Menurut
Malikiyah
Muzara’ah ialah:
الشَرْكَةُ فِى الْعَقدِ
“Bersekutu dalam
akad”.
Dari pengertian ini, dijelaskan bahawa Muzara’ah berarti
menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
d.
Menurut
Dhahir Nash, As Syafi’I berpendapat bahwa Muzara’ah ialah
اِكْتِرَاءَ الْعَامِلِ لِيَزْرَعَ الأَرْضَ بِبَعْضِ مَا
يَخْرُجُ مِنْهَا
“ Seorang pekerja menyewa tanah dengan apa
yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
e. Syaikh
Ibrahim Al Bajuri berpendapat bahwa Muzara’ah ialah:
عَمَلُ الْعَا مِلِ فِى الأَرْضِ
بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْمَالِكَ
“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang
dihasilkan darinya dan modal dari pemilik
tanah.”
Dari beberapa definisi diatas, maka Muzara’ah bisa
diartikan paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau
kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap).
B
Rukun-Rukun dan
Syarat-Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah akad, yaitu ijab
dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun
Muzara’ah menurut Hanafiyah ada 4, yaitu:
1.
Tanah
2.
Perbuatan
pekerja
3.
Modal
4.
Alat-alat
untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
1. Syarat
yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2. Syarat
yang bertalian dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa
saja yang akan ditanam.
3. Hal
yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
a. Bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
b.
Hasil
adalah milik bersama.
c. Bagian
antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari
kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal itu
tidak sah.
d. Bagian
kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e. Tidak
disyaratkan bagi salah satu nya penambahan yang ma’lum.
4.
Hal
yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
a.
Tanah
tersebut dapat ditanami
b.
Tanah
tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.
Hal
yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya:
a. Waktunya
telah ditentukan
b. Waktu
itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya
kurang lebih 4 bulan ( tergantung tekhnologi yang dipakainya, termasuk
kebiasaan setempat)
c.
Waktu
tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6.
Hal
yang berkaitan dengan alat-alat Muzara’ah,
alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan
kepada pemilik tanah.
Sedangkan menurut Hanabilah, rukun Muzara’ah ada satu,
yaitu ijab dan Kabul, boleh dilakukan dengan lafadz apa saja yang menunjukkan
adanya ijab dan Kabul dan bahkan Muzara’ah
sah dilafadzkan dengan lafadz ijarah.
C.
Dasar Hukum Muzara’ah
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama
hukumnya adalah boleh. Dasar kebolehannya itu, di samping dapat dipahami dari
umummnya firman Allah yang menyuruh bertolong-tolongan, juga secara khusus dari
hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang menyatakan:
“Bahwasannya Rasul Allah SAW memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian)
dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau
buah-buahan”.
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apa yang
dilakukan oleh Nabi dengan petani Khibar adalah kerjasama, bukan upah mengupah
dengan pekerja tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah dengan pemilik
tanah; karena sewa dalam akad sewa menyewa atau upah dalam akad upah mengupah
(ijarah) harus jelas dan pasti nilainya, bukan dengan hasil yang belum pasti.
Ulama yang mengatakan tidak boleh muamalah dalam bentuk muzara’ah adalah Abu
Hanifah dan Zufar, menurutnya hadist yang menjelaskan muamalah yang dilakukan
Nabi dengan penduduk Khaibar sebenarnya bukan merupakan kerjasama dengan
menggunakan akad muzara’ah melainkan kharaj musaqamah, yaitu kewajiban tertentu
(pajak) berupa prosentase tertentu dari hasil bumi.
Pada prinsipnya zakat dibebankan kepada orang yang
mampu, hasil pertanian telah mencapai batas nishab. Jika dilihat asal benih
tanaman, maka dalam Muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena
dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
D.
Filosofi/Hikmah Muzara’ah
a. Terwujudnya
kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani
penggarap.
b. Meningkatnya
kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya
kemiskinan.
d. Terbukanya
lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi
tidak memiliki tanah garapan.
e. Memberi
pertolongan kepada penggarap untuk mempunyai penghasilan
f. Harta
tidak hanya beredar di antara orang kaya asaja
g.
Mengikuti
sunnah Rosululloah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muzaro’ah yaitu kerja sama antara pemilik tanah dengan
pemilik benih untuk mengolah tanah pertanian atau lading atau sawah, sedangkan
benihnya dari petani yang bekerja sama kemudian diadakan persutujuaan bersama
yang diatur dalam bagi hasil. Atau yang sering kita dengar dengan paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga,
atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani. Keutungan dibagi sesuai
dengan kesepakatan atau akad awal, adapun jika ada kerugian maka akan
ditanggung oleh kedua belah pihak. Rukun yang harus terpenuhi dalam muzaroah
yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal alat-alat untuk menanam.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih
Islam. Bandung: PT Sinar Baru Algrensindo.
Sumber Internet :
https://smjsyariah89.wordpress.com/2011/07/19/muzaro%E2%80%99ah-dan-mukhobaroh/ Diakses pada 18.06 tanggal 08/12/2018