Senin, 10 Desember 2018

MAKALAH MUZAROAH


MAKALAH 
MUZARA’AH

Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Makalah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A

           












Disusun Oleh:
Murtiana - xxxxxxx


PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
2018 M/1439 H





KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai mata kuliah FILSAFAT HUKUM ISLAM  bagi para pembaca..
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, Saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu Saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Bandar Lampung, 08 November 2018


Murtiana






DAFTAR ISI


 JUDUL............................................................................................... I
KATA PENGANTAR........................................................................................... II
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Muzaro’ah.................................................................................. 2
B.    Rukun-Rukun  dan Syarat-Syarat Muzara’ah.............................................. 3
C.    Dasar Hukum Muzara’ah............................................................................. 4
D.    Filosofi/Hikmah Muzara’ah.......................................................................... 5
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN........................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pedesaan banyak sekali persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan begitu saja. Yang mana butuh penguatan hukum untuk dijadikan sebagai pedoman. Salah satunya adalah masalah perkebunan dan persawahan, yang kita kenal dengan parohan sawah atau ladang. Sistem paroan sawah ini biasa kita sebut dalam istilah fiqh yaitu musaqoh, muzara’ah, dan mukhobarah. Namun hal ini saya akan membahas tentang muzaroah saja.
Hal ini muncul karena beberapa sebab, diantaranya yaitu banyaknya masyarakat yang memiliki kebun tapi tidak bisa mengolah, begitupun sebaliknya ada yang tidak punya sawah tapi ia sanggup mengolah ladang. Dari hal ini akhirnya keduanya muncul kerjasama yang mana pemilik lahan memberikan lahannya kepada tukang kebun untuk mengolah, lalu hasilnya dibagi dua sesuai dengan akad yang telah disepakati.
Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud memaparkan tentang muzaroah dalam makalah ini untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, untuk menambah wawasan kita dalam menyikapi terjadinya kesalahpahaman dan persoalan-persoalan lain yang berkenaan dengan hal tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa pengertian muzaroah ?
2.Apa saja Rukun-Rukun  dan Syarat-Syarat Muzara’ah ?
3.Bagaimana Dasar Hukum Muzara’ah ?
4. Apa Filosofi/Hikmah Muzara’ah ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muzara’ah
Secara etimologi Al Muzara’ah memiliki 2 arti, yang pertama Al Muzara’ah yang berarti tharh al zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.
Sedangkan secara terminologi, Muzara’ah memiliki beberapa definisi. Ada beberapa ulama’ yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Muzara’ah, diantaranya:
a.       Menurut Hanafiyah
Muzara’ah ialah:
عَقْدٌ عَلَى الزَّرْعِ بِبَعْضِ الْ خَارِجِ مِنَ الآَرْضِ
“ Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”
b.      Menurut Hanabilah
Muzara’ah ialah:
عَنْ يَدْفَعَ صَاحِبُ الأَرْضِ الصَّا لِحَةِ الْمُزَارَعَةِ أرْضَهُ لِلْعَامِلِ الَّذِىْ يَقَوْمُ يِزَرْعِهَا وض بَدْفَعُ لَهُ الْحُبَّ
“Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”
c.       Menurut Malikiyah
Muzara’ah ialah:
الشَرْكَةُ فِى الْعَقدِ
 “Bersekutu dalam akad”.
Dari pengertian ini, dijelaskan bahawa Muzara’ah berarti menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
d.      Menurut Dhahir Nash, As Syafi’I berpendapat bahwa Muzara’ah ialah
اِكْتِرَاءَ الْعَامِلِ لِيَزْرَعَ الأَرْضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
    
“ Seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
e. Syaikh Ibrahim Al Bajuri berpendapat bahwa Muzara’ah ialah:
عَمَلُ الْعَا مِلِ فِى الأَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْمَالِكَ
“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik  tanah.”
Dari beberapa definisi diatas, maka Muzara’ah bisa diartikan paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap).
B
Rukun-Rukun  dan Syarat-Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun Muzara’ah menurut Hanafiyah ada 4, yaitu:
1.      Tanah
2.      Perbuatan pekerja
3.      Modal
4.      Alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
1. Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2. Syarat yang bertalian dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
a. Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
b.      Hasil adalah milik bersama.
c.   Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal itu tidak sah.
d.   Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e. Tidak disyaratkan bagi salah satu nya penambahan yang ma’lum.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
a.       Tanah tersebut dapat ditanami
b.      Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya:
a.     Waktunya telah ditentukan
b.   Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan ( tergantung tekhnologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat)
c.       Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat Muzara’ah,  alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Sedangkan menurut Hanabilah, rukun Muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul, boleh dilakukan dengan lafadz apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan Kabul dan bahkan Muzara’ah  sah dilafadzkan dengan lafadz ijarah.
C.    Dasar Hukum Muzara’ah
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama hukumnya adalah boleh. Dasar kebolehannya itu, di samping dapat dipahami dari umummnya firman Allah yang menyuruh bertolong-tolongan, juga secara khusus dari hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang menyatakan: “Bahwasannya Rasul Allah SAW memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”.
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi dengan petani Khibar adalah kerjasama, bukan upah mengupah dengan pekerja tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah dengan pemilik tanah; karena sewa dalam akad sewa menyewa atau upah dalam akad upah mengupah (ijarah) harus jelas dan pasti nilainya, bukan dengan hasil yang belum pasti. Ulama yang mengatakan tidak boleh muamalah dalam bentuk muzara’ah adalah Abu Hanifah dan Zufar, menurutnya hadist yang menjelaskan muamalah yang dilakukan Nabi dengan penduduk Khaibar sebenarnya bukan merupakan kerjasama dengan menggunakan akad muzara’ah melainkan kharaj musaqamah, yaitu kewajiban tertentu (pajak) berupa prosentase tertentu dari hasil bumi.
Pada prinsipnya zakat dibebankan kepada orang yang mampu, hasil pertanian telah mencapai batas nishab. Jika dilihat asal benih tanaman, maka dalam Muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.

D.    Filosofi/Hikmah Muzara’ah
a.   Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c.     Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
e. Memberi pertolongan kepada penggarap untuk mempunyai penghasilan
f.   Harta tidak hanya beredar di antara orang kaya asaja
g.      Mengikuti sunnah Rosululloah.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Muzaro’ah yaitu kerja sama antara pemilik tanah dengan pemilik benih untuk mengolah tanah pertanian atau lading atau sawah, sedangkan benihnya dari petani yang bekerja sama kemudian diadakan persutujuaan bersama yang diatur dalam bagi hasil.  Atau yang sering kita dengar dengan paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani. Keutungan dibagi sesuai dengan kesepakatan atau akad awal, adapun jika ada kerugian maka akan ditanggung oleh kedua belah pihak. Rukun yang harus terpenuhi dalam muzaroah yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal alat-alat untuk menanam.




DAFTAR PUSTAKA

Suhendi,  Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung: PT Sinar Baru Algrensindo.

Sumber Internet :






1 komentar:

Makalah tentang Pengertian Filsafat

MAKALAH PENGERTIAN FILSAFAT Makalah in dibuat untuk melengkapi tugas pada mata kuliah Filsafat Umum Dosen Penggampu ; Erik Rahman Gumiri, M....